Madura bukan hanya tentang karapan sapi atau sate yang terkenal di seluruh penjuru Nusantara — pulau ini juga dikenal sebagai “Pulau Garam”, berkat sejarah panjang dan kontribusi besarnya dalam produksi garam nasional. Puluhan ribu hektare lahan tambak garam terbentang di wilayah ini, dengan Kabupaten Sumenep menjadi salah satu sentra utamanya.
Dalam program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 2024 yang saya ikuti di Universitas Trunojoyo Madura, saya berkesempatan melakukan wawancara langsung dengan para petani garam di Sumenep. Mereka menjalankan proses produksi garam secara tradisional dengan metode khas Madura, yaitu dengan mengeringkan air laut secara alami hingga menghasilkan kristal garam murni. Metode ini bukan hanya efisien, tetapi juga sarat akan nilai kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Namun, kunjungan ini tak hanya soal belajar ekonomi dan produksi. Bersama mahasiswa dari berbagai daerah dan latar belakang budaya, kami menjelajahi sisi lain Sumenep — daerah yang dijuluki sebagai salah satu kawasan paling toleran di Madura. Di desa-desa, kami melihat bagaimana masjid, gereja, dan klenteng berdiri berdampingan, dan masyarakat hidup dalam kerukunan yang tulus tanpa sekat.
Wawancara dan eksplorasi lapangan ini membuka mata saya bahwa pembelajaran sejati justru terjadi saat kita terjun langsung ke tengah masyarakat. Mendengarkan kisah mereka, memahami cara mereka bekerja, dan menyaksikan sendiri bagaimana toleransi itu hidup dalam keseharian — semua itu adalah pelajaran yang tak tergantikan.
Program PMM bukan sekadar program mobilitas, tetapi ruang bertumbuh bagi semangat kebhinekaan, cinta tanah air, dan pemahaman lintas budaya. Dan Sumenep, dengan kekayaan alam dan budayanya, adalah guru yang sempurna untuk pelajaran itu.
0 Komentar